Sabtu, 02 Mei 2015

Orang Lain Yang Riya Atau Kita Yang Buruk Sangka?

Stop Su'udzon

**
Bang Raffi yang terkenal paling kaya di sekitar Kampung Duku baru saja mengganti mobilnya dengan mobil ferrari jenis terbaru. Padahal baru beberapa bulan yang lalu dia membeli mobil mewah, juga dengan harga yang milyaran. Penggantian mobil barunya tersebut ia ceritakan ke teman-temannya sesama pecinta mobil mewah.
***
Kak Ros akhir-akhir ini sering uring-uringan. Penyebabnya satu, lantaran banyak tugas kuliah yang harus dikerjakan, ia menjadi jarang selesai (khatam) untuk mengaji satu juz dalam sehari. Untuk mengatasi masalahnya tersebut, akhirnya kak Ros curhat ke teman-teman di komunitasnya. Berbeda dengan kak Ros, tilawah Susanti justru bisa hampir dua juz sehari, Ia pun bersyukur akan hal itu.

Sobat reader...
Jika bang Raffi menceritakan mobil barunya ke kita, kemudian kak Ros dan Susanti juga menceritakan tentang tilawah atau baca qur’an yang satu hari satu Juz, Apa yang sobat pikirkan? Persepsi apa yang muncul?
“ Ah, Bang Raffi itu SOMBONG...! ”
“ Kak Ross dan Susanti itu RIYA, ibadah kok disebut-sebut..! ”
Apakah kalimat diatas yang muncul dalam pikiran kita? Benarkah mereka sombong dan riya?
BELUM TENTU, sob. Kita tidak bisa dengan mudahnya mengatakan kalau mereka sombong dan riya. Mereka bercerita seperti itu karena dalam kehidupannya hal tersebut sudah menjadi kesehariannya. Sama seperti kita, jika kita biasa makan dengan sayur kangkung, kemudian menceritakan ke teman yang makan dengan sayur kangkung juga, apakah ada disana letaknya sombong?
Jadi, ketika kita dengan mudahnya mengatakan sombong atau riya ke orang lain, bisa jadi karena hal tersebut masih asing dengan keseharian diri kita. Belum familiar di telinga. Sementara topik cerita yang kita nilai sombong dan riya sudah sangat biasa dalam kehidupan mereka. Sama seperti sayur kangkung tadi.
Ketika kita menyimpulkan bang Raffi sombong. Jujur saja, itu karena kita tidak punya mobil jenis ferrari. Teman-temannya yang punya mobil tersebut biasa saja mendengarnya. Ketika kita mengatakan kak Ros dan Susanti itu RIYA. Jujur saja, tilawah kita belum sebanyak mereka dalam sehari. Kalau kita biasa melakukannya satu hari satu juz, pasti mendengarnya juga biasa saja.
Jika ada teman update status di facebook, twitter dan di BBM tentang ibadah PUASAnya, tentang TAHAJJUDnya, tentang shalat DHUHAnya, apakah dengan mudahnya kita mengatakan dia itu RIYA? Darimana kita tahu kalau mereka itu riya?
Sejak kapan kita bisa melihat isi hati orang lain? Sejak kapan bisa menilai NIAT orang lain? Jangan-jangan itu Cuma hati kita saja yang berburuk sangka, SU’UDZON.
Alangkah indahnya, jika kita tetap positif thinking ketika ada teman yang menceritakan atau menulis tentang ibadahnya. Bahkan seharusnya kita ikut senang, karena ternyata ibadah teman ini meningkat atau lebih hebat daripada kita. Berkat update status-nya kita jadi termotivasi untuk meningkatkan ibadah lagi.
Saya teringat dengan tausiyah ustadz Yusuf Mansur, beliau mengatakan
“ Jangan takut nyeritain amalan. Niatin buat dakwah. Mereka-mereka yang maksiat aja terang-terangan. Masa’ iya kita yang ibadah jadi gak berani (buat menceritakannya).” Jangan sampai Syiar kemaksiatan lebih sering kita dengar daripada syiar tentang ibadah, dakwah dan semacamnya. Tentunya pemilihan kalimat untuk niat dakwah ini juga dengan kehati-hatian ya. Mungkin lebih mengarah ke -Mengajak-, bukan ke -Menunjukkan-. Kita bisalah memperkirakan kalimat yang ke arah dakwahnya.
            Kita tahu sedekahnya para sahabat rosulullah yang 100% dari hartanya itu berkat sedekah yang terang-terangan, kan. Apapun ibadahnya tidak harus diam-diam atau tersembunyi. Terang-terangan boleh dengan niat untuk berdakwah. Hal ini banyak dijelaskan di Al Qur’an, salah satunya di surat Ibrahim: 31
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang Telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.

 Intinya, beribadah itu boleh diam-diam, boleh juga terang-terangan (ngasih tau ke orang lain). Yang tidak boleh itu diam-diam tidak ibadah. :p
Beribadah terang-terangan memang berpotensi riya, tapi beribadah diam-diam juga berpotensi ujub. Yang penting kembali kita luruskan NIAT.

Sebagai penutup di tulisan ini, yuk kedepankan khusnudzon. Jangan mudah su’udzon.
“ Ketika kita menilai orang lain, sesungguhnya saat itu juga kita sedang dinilai. Minimal dinilai oleh diri kita sendiri.”
Kita hanya manusia biasa yang tak bisa membaca isi hati. Kalaupun bisa, kebanyakan penilaian kita itu salah. Seperti lirik lagunya Padi yang berjudul ‘ Sang Penghibur ‘
“ Aku bukanlah seorang yang mengerti, tentang kelihaian membaca hati.” (harusnya ini ada emot musiknya, hehehe)
Setiap diri kita bukanlah orang yang lihai, tepat dan selalu benar dalam menilai hati seseorang. Kita manusia biasa yang punya keterbatasan.

Sekian tulisan untuk renungan bersama ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya, terutama bagi saya sendiri sebagai penulisnya. Mohon maaf jika ada kesalahan.

Pekanbaru, 2 Mei 2015 
Salam,
Atrof Ardians

            
Share on :


Related post:


0 komentar:

Posting Komentar

Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.