Senin, 09 Maret 2015

Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg



Biografi Tokoh
Lawrence Kohlberg lahir pada tahun 1927, dan meninggal pada tahun 1987. Dia dibesarkan di Bronxville, New York, dan memasuki Akademi Andover di Massachussets, sekolah menengah atas swasta yang mahal dan menuntut kemampuan akademis tinggi. Setelah menamatkan Akademi, Kohlberg tidak langsung memasuki Perguruan Tinggi, namun bekerja menjadi tenaga ahli mesin pada sebuah kapal yang membawa pemulangan pengungsi-pengungsi Israel dari Eropa ke Israel. Kemudian pada tahun 1948 barulah dia memasuki perguruan tinggi di Universitas Chicago. Kholberg di terima sebagai mahasiswa dengan hasil tes tertinggi sehingga dia hanya mengambil sedikit saja mata kuliah untuk memperoleh sarjana muda.
Setelah mendapatkan gelar sarjana mudanya, kholberg kembal melanjutkan studinya ke tingkat sarjana dan mengambil di bidang psikologi. Ketertarikkannya terhadap teori Piaget menyebabkan dia melakukan studi secara longitudinal mengenai masalah penalaran moral pada anak pra-remaja masa itu dengan metode wawancara. Disertasi dokotoralnya selesai pada tahun 1958 dengan judul ”The Development of Modes Of Thinking and Choice in Th e Years 10 to 16”, gelar profesornya adalah dalam bidang ilmu pendidikan dan psikologi social.
Dunia karir Kholberg, dia menjadi pengajar di Universitas Chicago(1962-1968). Kemudian mengajar di Universitas Harvard(1968- ajal menjemputnya yaitu pada tahun 1987). Kholberg juga menjadi Direktur The Center for Moral Education and Development pada Harvard University.

Konsep Dasar Teori Kohlberg
Kholberg mengemukakan teori perkembangan moral dengan dasar teori Piaget. Dalam teori perkembangan kognitif, Piaget ingin mengetahui latar belakang yang mendasari timbulnya tingkah laku apabila seseorang dihadapkan dengan suatu perbuatan yang berhubungan dengan nilai moral tertentu, bukan dilihat dari perbuatannya yang nyata, melainkan faktor-faktor yang mendasari timbulnya perbuatan tersebut. Sedangkan Kholberg ingin menyelidiki struktur proses berfikir yang mendasari jawaban atau perbuatan-perbuatan moral.
Metode Kohlberg
Contoh utama Kholberg diambil dari 72 anak laki-laki dari keluarga kelas menengah dan kelas bawah di Chicago. Mereka berusia 10, 13, dan 16 tahun. Dia lalu menambahkan contohnya dengan anak-anak yang lebih muda, anak-anak bengal, dan anaka-anak laki dan perempuan dari kota-kota Amerika lainnya bahkan dari negara lain.
Contoh pernyataan yang digunakan Kholberg dalam melakukan penyelidikan :
Pada suatu hari sirine tanda bahaya berbunyi. Setiap orang sadar bahwa bom hidrogen akan dijatuhkan di kota itu oleh musuh, dan jalan saru-satunya untuk menyelamatkan diri berlindung di dalam tempat bom. Tidak setiap orang punya pelindung bom. Tetapi mereka yang punya tempat perlindungan seperti itu lari cepat-cpat untuk berlindung. Katena suami isteri James telah membuat perlindungan bom, mereka segera pergi kesana. Disana terdapat udara cukup untuk hidup lima hari.
Mereka mengetahui bahwa setelah lima hari pengaruh bom akan berkurang dan mereka akan selamat meninggalkan perlindungan bom. Jika mereka meninggalkannya sebelum lima hari, mereka akan mati. Udara di dalam perlindungan bom hanya cukup untuk keluarga James ini. Tetangga-tetangga disebelahnya tidak membuat perlindungan bom dan mereka mencoba masuk. Keluarga James mengetahui bahwa mereka tidak akan memperoleh cukup udara jika mereka mengizinkan para tetangga masuk dan mereka semua akan mati. Karena itu dia tidak mengizinkan mereka masuk. Para tetangga kemudian mencoba merusak pintu pagar agar bisa masuk. Tuan James mengambil senapan dan meminta mereka untuk pergi atau ia akan menembak. Tetapi, mereka tidak pergi. Jadi ia harus menembak mereka atau membiarkan mereka masuk ke perlindungan bom.
Pada kasus di atas menyebabkan orang yang membacanya didesak pada situasi konflik untuk memilih suatu dilema. Yang penting yang  harus kita ketahui adalah bukan apa yang akan kita lakukan tetapi mengapa kita harus melakukan itu.
Dari kasus di atas Kohlberg juga menanyakan:
  1. apa yang harus dilakukan Tuan James?
  2. Apakah Tuan James punya hak untuk menembak para tetangga jika dia merasa bahwa mereka semua kan mati jika dia mengizinkan mereka masuk? Sedangkan udara tidak cukup untuk mempertahankan hidup mereka dalam waktu yang cukup lama.
  3. Apakah Tuan James punya hak untuk membiarkan mereka masuk, sedangkan dia mengetahui mereka semua akan mati.
Melalui pernyataan dan jawaban yang diberikan anak dan remaja, Kholberg memfokuskan perhatian utamanya pada penalaran di balik jawaban si anak/remaja. Dari hasil penyelidikannya itu Kholberg akhirnya menemukan ada 6 tahap perkembangan moral, yang terbagi dalam tiga tingkatan, yakni:
  1. Moralitas Pra-konvensional
  1. Tahap 1, Kepatuhan dan Orientasi Hukuman
Individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
  1. Tahap 2, Relativistik Hedonisme
Menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
  1. Moralitas Konvensional
  1. Tahap 3,  Orientasi mengenai anak baik
Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik
  1. Tahap 4, Mempertahankan norma sosial dan Otoritas 
Adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
  1. Moralitas Pasca-Konvensional
a.       Tahap 5, Orientasi Terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
b.       Tahap 6, Prinsip Universal
penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.

tag:  Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
Share on :


Related post:


0 komentar:

Posting Komentar

Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.