MA’RIFATULLAH
- Pendahuluan
Mengenal Allah merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Karena dengan mengenal Allah,
seseorang akan lebih dapat mengenali dirinya sendiri. Dengan mengenal Allah
seseorang juga akan dapat memahami menegenai hakekat keberadaannya di dunia
ini; untuk apa ia diciptakan, kemana arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung
jawab yang dipikulnya sebagai seorang insan di muka bumi. Dengan lebih mengenal
Allah, seseoran juga akan memiliki keyakinan bahwa ternyata hanya Allah lah
yang Maha Pencipta, Maha Penguasa, Maha Pemelihara, Maha Pengatur dan lain
sebagainya. Sehingga seseorang yang mengenal Allah, seakan-akan ia sedang
berjalan pada sebuah jalan yang terang, jelas dan lurus.
Sebaliknya, tanpa pengenalan terhadap Allah, manusia akan dilanda kegelisahan
dalam setiap langkah yang dilaluinya. Ia tidak dapat memahami hakekat
kehidupannya, dari mana asalnya, kemana arah tujuannya dan lain sebagainya.
Seakan akan ia sedang berjalan di sebuah jalan yang gelap, tidak tentu dan
berkelok. Dalam Al-Qur’an Allah SWT menggambarkan (QS. 6 :122) :
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan apakah orang
yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya
yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah
masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap
gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami
jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.”
- Pengertian Makrifatullah
Istilah ma’rifah berasal dari kata ”Al-Ma’rifah”, yang berarti mengetahui
atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka
istilah ma’rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu maqam
dalam Tasawuf.
Kemudian istilah ini dirumuskan defenisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf,
antara lain:
a.
Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat
Ulama Tasawuf yang mengatakan:
Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang
wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.
b.
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiry
mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiry yang mengatakan :
Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi)....dalam keadaan
hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
c.
Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman
bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa yang meningkat
ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).
Tidak semua orang yang menurut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada
tingkatan ma’rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma’rifah, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishri yang
mengatakan: ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi bila sudah sampai kepada
tingkatan ma’rifah, antara lain:
a.
Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala
sikap dan perilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b.
Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang
berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
c.
Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat
dirinya. Karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang sufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy Syekh Muhammad bin
Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifah yang dimiliki Sufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
- Faham Ma’rifah
Ada segolongan Sufi mempunyai ulasan bagaimana hakikat ma’rifah. Mereka
mengemukakan paham-pahamnya antara lain:
a.
Kalau mata yang ada di dalam hati sanubari manusia
terbuka, maka mata kepalanya tertutup, dan waktu yang dilihat hanyalah Allah.
b.
Ma’rifah adalah cermin. Apabila seorang arif melihat
ke arah cermin maka apa yang dilihatnya hanyalah Allah.
c.
Orang arif baik diwaktu tidur dan bangun yang
dilihat hanyalah Allah SWT.
d.
Seandainya ma’rifah itu materi, maka semua orang
yang melihat akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan
yang gilang-gemilang.
- Jalan Ma’rifah
Untuk menuju tujuan tertentu, tentulah
diperlukan cara atau metode yang telah tertentu pula. Metode yang baik dan
benar akan dapat mengantarkan kita pada hasil yang baik dan benar pula.
Demikian juga sebaliknya, cara atau metode yang salah, akan membawa kita pada
hasil yang salah pula. Dan secara garis besar, terdapat dua cara untuk mengenal
Allah SWT. Pertama, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat qauliyah.
Kedua, melalui ayat-ayat Allah yang bersifat kauniyah.
Pertama : Melalui ayat-ayat qauliyah.
Ayat-ayat qauliyah adalah
ayat-ayat Allah SWT yang difirmankan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Ayat-ayat
ini menyentuh berbagai aspek yang dapat menunjukkan kita untuk lebih mengenal
dan meyakini Allah SWT. Sebagai contoh, Allah SWT berfirman dalam (QS.
88: 17 – 20), dimana Allah SWT memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat
menghujam lubuk hati seorang insan yang paling dalam, untuk membenarkan
keberadaan Allah Yang Maha Pencipta:
أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ * وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ* وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ * وَإِلَى الأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ*
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?”
Contoh lain adalah bagaimana Allah SWT memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya tiada jawaban yang dapat mereka berikan
melainkan hanya kesaksian mengenai Keagungan, Kebesaran dan Kekuasaan Allah
SWT. Allah berfirman (QS. 27 : 60 – 66)
أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ
وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ
بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ
هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ * أَمَّنْ جَعَلَ الأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلالَهَا
أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حَاجِزًا
أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ *أَمَّنْ يُجِيبُ
الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ
الأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ * أَمَّنْ
يَهْدِيكُمْ فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَنْ يُرْسِلُ الرِّيَاحَ
بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ* أَمَّنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ
مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ * قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ * بَلِ
ادَّارَكَ عِلْمُهُمْ فِي اْلآخِرَةِ بَلْ هُمْ فِي شَكٍّ مِنْهَا بَلْ هُمْ
مِنْهَا عَمُونَ*
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan
bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan
air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak
mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang
lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari
kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam,
dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan
gunung-gunung untuk (mengkokohkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua
laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya)
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan
(do`a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di
bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati (Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan
dan lautan dan siapa (pula) kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira
sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?
Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau
siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya
(lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi?
Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah
bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar". Katakanlah:
"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (kesana) malahan
mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta
daripadanya.”
Selain dua contoh di atas, masih banyak
sekali contoh-contoh lain yang dapat mengantarkan kita untuk dapat mengenal dan
lebih mengenal Allah SWT lagi.
Kedua : Melalui ayat-ayat kauniyah
Ayat-ayat
kauniyah adalah tanda-tanda kebesaran Allah yang terdapat pada
ciptaan-Nya, baik yang berada di dalam diri manusia, di alam, di angkasa, di
dalam lautan, di jagad raya dan lain sebagainya. Karena pada hekekatnya, ketika manusia merenungkan
segala ciptaan Allah yang Maha Sempurna ini, akan membawa pada pengenalan dan
pengesaan (baca; pentauhidan) terhadap Allah SWT. Allah berfirman dalam QS. 67
: 3 – 4:
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ
طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ
هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ*
ثُمَّ
ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ
حَسِيرٌ
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat
sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan
penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”
Bahkan
dalam ayat lain, Allah seolah memberikan tantangan kepada orang yang tidak
mengakui ciptaan-Nya, untuk menunjukkan ciptaan-ciptaan selain-Nya. Allah mengatakan (QS. 31 : 11)
هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ
“Inilah ciptaan Allah, maka
perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan
(mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam
kesesatan yang nyata.”
Pada intinya adalah bahwa sesungguhnya segala apa
yang ada di bumi, di langit, di jagad raya, juga di dalam diri kita sendiri,
merupakan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Tanda-tanda tersebut demikian
banyaknya hingga dapat dikatakan tak terbilang. Hanya karena keterbatasan
kitalah, kita tidak mampu untuk menghitung ayat-ayat Allah tersebut. Berikut
adalah diantara ayat-ayat kauniyah yang dapat mengenalkan kepada Allah
SWT:
1.
Fenomena adanya alam.
Jika terdapat
sesuatu yang sangat indah dan mempesona, maka pastilah ada yang membuatnya.
Sebagai contoh, ketika kita melihat
sebuah rumah yang sangat bagus dan indah. Tentulah rumah tersebut ada
yang membangunnya. Karena tidak mungkin, rumah itu ada dan berdiri sendiri
dengan kebetulan, tanpa ada yang menciptakannya. Demikian juga dengan alam yang
sangat indah ini, dengan berbagai siklus alamnya yang demikian sempurna. Ada
sinar matahari yang tidak membakar kulit, ada oksigen yang kadar dan
komposisinya sangat sesuai dengan manusia, ada air yang merupakan sumber
kehidupan, ada pepohonan, ada hewan, ada bakteri dan demikian seterusnya.
Sesungguhnya hal seperti itu merupakan tanda-tanda yang jelas mengenai Allah
SWT. Bila ciptaan-Nya saja begitu indah dan sempurna, maka apatah lagi dengan
Penciptanya.? Mengenai hal ini, Allah berfirman (QS. 3 : 190):
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal.”
Kita dapat membayangkan,
sekiranya dunia ini tidak diselimuti oleh atmosfer, atau tiada pepohonan yang
mengeluarkan oksigen, atau tiada penawar kotoran seperti lautan, atau hal-hal
lain yang menyeimbangkan siklus perputaran kehidupan di dunia? Barangkali kita
semua saat ini sudah punah. Belum lagi jika kita menengok ke angkasa raya, di
mana seluruh planet berserta gugusan bintang-bintang, semua berjalan sesuai
dengan ‘jalurnya’ masing-masing. Sehingga tiada yang saling bertabrakan satu
dengan yang lainnya. Lagi-lagi sebuah pertanyaan muncul, siapakan yang dapat
mengatur segalanya dengan sangat teliti, sempurna dan tiada cacat? (Biarkanlah
relung hati kita yang paling dalam untuk menjawabnya sendiri..)
2.
Fenomena kehidupan dan kematian
Kehidupan dan kematian juga merupakan
salah satu tanda kebesaran Allah SWT. Di mana hal ini ‘memaksa’ manusia untuk
berfikir keras tentang fenomena hidup dan mati. Jika seluruh makhluk itu hidup
dan kemudian mati, tentulah di sana terdapat Dzat yang Menghidupkan dan
Mematikan. Jika seseorang, Allah kehendaki untuk mati, maka apapun yang
dilakukan untuk menolongnya akan menjadi sia-sia. Demikian juga dengan fenomena
kehidupan; terkadang seseorang yang telah terfonis ‘mati’ oleh medis, ternyata
dapat dan mampu bertahan hidup hingga beberapa tahun ke depan. Dan menyikapi
hal seperti ini, manusia terpaksa harus mengakui ‘kekerdilannya’, meskipun
tekhnologi canggih telah mereka kuasai. Namun mereka sama sekali tidak kuasa
menghadapi fenomena ini. Mereka akhirnya harus mengembalikan segala sesuatunya
hanya kepada Allah. Karena pada-Nyalah kita semua akan kembali. Mengenai hal
ini Allah berfirman (QS. 2 : 28)
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Mengapa
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”
- Tokoh Ma’rifah
Ada beberapa tokoh yang memperkenalkan ma’rifah ini, salah satunya adalah
adalah Al-Ghzali. Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad al-Ghazali,
lahir pada tahun 1059 M. Di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat
Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru besar
di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur. Setelah mempelajari ilmu agama, ia
mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam, filsafat, dan lain-lain, akhirnya
ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah bertahun-tahun mengembara
sebagai sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105 M. Dan meninggal di sana tahun
1111 M[1]. Al-Ghazali
mengakhiri masa petualangannya, karena telah mendapat ”pegangan” yang
sekuat-kuatnya untuk kembali berjuang dan bekerja di tengah masyarakat.
Pegangan itu ialah ”Paham Sufi” yang diperolehnya berkat ilham Tuhan di tanah
suci Mekkah dan Madinah.
Mengakhiri hidup menyendiri dan masuk kemabali ke tengah masyarakat,
sesudah bertahun-tahun lamanya menggali-gali kebenaran untuk dirinya sendiri,
karena dia tetap beribadat dan tetap berbuat amal dimana saja dia berada,
tetapi persoalannya ialah jalan mana yang benar ditempuh untuk meyakinkan
kebenaran itu kepada khalayak ramai.
Sesudah mendapat ilham yang benar di bawah lindungan Ka’bah maka
terbukalah pikirannya untuk berkumpul dengan segenap keluarganya. Hidup
petualangan yang berjalan 10 tahun lamanya, sudah cukup di tengah masyarakat.
Terhadap hal ini, Al-Ghazali mengatakan: ”Kemudian panggilan anak-anak
dan cinta keluarga menarik seabagai besi berani supaya aku pulang ke tanah air.
Aku bersiap-siap akan pulang sesudah bertahun-tahun aku menjauhinya untuk
membersihkan jiwa mengingat Tuhan. Peristiwa-peristiwa hidup, kepentingan hidup
berkeluarga dan desak-desakan hidup telah mengubah tujuan hidupku, mengacukan
pikiran berkhalawat, sehingga timbullah kegelisahan batin yang tidak
membersihkan suasana
hidupku lagi. Sungguhpun begitu, tidaklah putus harapanku dan segala aral
yang melintang aku singkirkan ke pinggir, supaya dapat akku pulang kembali”.
Pada
499 H = 1105 M, Al Ghazali pulang kembli ke Niesabur dengan hati yang penuh
bangga sebagai seorang pahlawan yang gagah, pulang dengan kemenangan dari suatu
pertempuran terhadap kepulangannya ini, dikatakan oleh H.K. Sherwani: ”Malik
Shah was Succeeded by his youngest son, Mahmud, was in turn succeeded by his
eldest by brother barqijaruq, while another of Malik Shahs son, Sanjar,
governor of Khurrasan, made Nizamul Mulk’s son Fakru’l Mulk his shief minister,
and he, true to the traditions of his illustrious father, invited Ghazzali back
to his country making the president if his almamater, the academy Nishapur in
1105” (24).
Menurut Al Ghazali, ma’rifah ialah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Selanjutnya ia
menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan yaitu (A’rif)
tidak akan mengatakan ”Ya Allah” atau ”Ya Rabbi”. Karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata seperti itu menyatakan, bahwa Tuhan ada di belakang tabir, Ma’rifah
menurut Al Gazali juga memandang kepada wajah Allah SWT.
Sedangkan ma’rifah dan mahabbah menurut Al Gazali adalah tingkatan tinggi
bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma’rifah lebih baik kualitasnya dari
pengetahuan akal.
- Kesimpulan
Dengan
mengenal Allah SWT, kita akan lebih dapat untuk mendekatkan diri kita
kepada-Nya secara baik dan benar. Karena pemahaman yang baik akan mengantarkan
pada amalan yang baik. Amalan yang baik akan mengarah pada hasil yang baik. Dan
hasil yang baik, insya Allah akan mendapatkan keridhaan Allah SWT. Semoga Allah
SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang benar-benar
mentauhidkannya dalam segenap aspek kehidupan kita. Dan kita berlindung
kepada-Nya dari kemusyrikan-kemusyrikan, baik yang kita sadari ataupun yang
tidak kita sadari.
0 komentar:
Posting Komentar
Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.