**
Bang Raffi yang terkenal paling
kaya di sekitar Kampung Duku baru saja mengganti mobilnya dengan mobil ferrari
jenis terbaru. Padahal baru beberapa bulan yang lalu dia membeli mobil mewah,
juga dengan harga yang milyaran. Penggantian mobil barunya tersebut ia
ceritakan ke teman-temannya sesama pecinta mobil mewah.
***
Kak Ros akhir-akhir ini sering
uring-uringan. Penyebabnya satu, lantaran banyak tugas kuliah yang harus dikerjakan,
ia menjadi jarang selesai (khatam) untuk mengaji satu juz dalam sehari. Untuk
mengatasi masalahnya tersebut, akhirnya kak Ros curhat ke teman-teman di
komunitasnya. Berbeda dengan kak Ros, tilawah Susanti justru bisa hampir dua
juz sehari, Ia pun bersyukur akan hal itu.
Sobat reader...
Jika bang Raffi menceritakan
mobil barunya ke kita, kemudian kak Ros dan Susanti juga menceritakan tentang
tilawah atau baca qur’an yang satu hari satu Juz, Apa yang sobat pikirkan?
Persepsi apa yang muncul?
“ Ah, Bang Raffi itu SOMBONG...!
”
“ Kak Ross dan Susanti itu
RIYA, ibadah kok disebut-sebut..! ”
Apakah kalimat diatas yang
muncul dalam pikiran kita? Benarkah mereka sombong dan riya?
BELUM TENTU, sob. Kita tidak
bisa dengan mudahnya mengatakan kalau mereka sombong dan riya. Mereka bercerita
seperti itu karena dalam kehidupannya hal tersebut sudah menjadi kesehariannya.
Sama seperti kita, jika kita biasa makan dengan sayur kangkung, kemudian
menceritakan ke teman yang makan dengan sayur kangkung juga, apakah ada disana
letaknya sombong?
Jadi, ketika kita dengan
mudahnya mengatakan sombong atau riya ke orang lain, bisa jadi karena hal
tersebut masih asing dengan keseharian diri kita. Belum familiar di telinga.
Sementara topik cerita yang kita nilai sombong dan riya sudah sangat biasa
dalam kehidupan mereka. Sama seperti sayur kangkung tadi.
Ketika kita menyimpulkan bang
Raffi sombong. Jujur saja, itu karena kita tidak punya mobil jenis ferrari.
Teman-temannya yang punya mobil tersebut biasa saja mendengarnya. Ketika kita
mengatakan kak Ros dan Susanti itu RIYA. Jujur saja, tilawah kita belum
sebanyak mereka dalam sehari. Kalau kita biasa melakukannya satu hari satu juz,
pasti mendengarnya juga biasa saja.
Jika ada teman update status di
facebook, twitter dan di BBM tentang ibadah PUASAnya, tentang TAHAJJUDnya,
tentang shalat DHUHAnya, apakah dengan mudahnya kita mengatakan dia itu RIYA?
Darimana kita tahu kalau mereka itu riya?
Sejak kapan kita bisa melihat isi hati
orang lain? Sejak kapan bisa menilai NIAT orang lain? Jangan-jangan itu Cuma
hati kita saja yang berburuk sangka, SU’UDZON.
Alangkah indahnya, jika kita
tetap positif thinking ketika ada teman yang menceritakan atau menulis tentang
ibadahnya. Bahkan seharusnya kita ikut senang, karena ternyata ibadah teman ini
meningkat atau lebih hebat daripada kita. Berkat update status-nya kita jadi
termotivasi untuk meningkatkan ibadah lagi.
Saya teringat dengan tausiyah
ustadz Yusuf Mansur, beliau mengatakan
“ Jangan takut nyeritain amalan. Niatin buat
dakwah. Mereka-mereka yang maksiat aja terang-terangan. Masa’ iya kita yang
ibadah jadi gak berani (buat menceritakannya).” Jangan sampai Syiar kemaksiatan lebih sering kita dengar daripada syiar tentang ibadah, dakwah dan semacamnya. Tentunya pemilihan kalimat untuk niat dakwah ini juga dengan kehati-hatian ya. Mungkin lebih mengarah ke -Mengajak-, bukan ke -Menunjukkan-. Kita bisalah memperkirakan kalimat yang ke arah dakwahnya.
Kita tahu sedekahnya para sahabat rosulullah yang 100% dari hartanya itu berkat
sedekah yang terang-terangan, kan. Apapun ibadahnya tidak harus diam-diam atau
tersembunyi. Terang-terangan boleh dengan niat untuk berdakwah. Hal ini banyak
dijelaskan di Al Qur’an, salah satunya di surat Ibrahim: 31
“Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang Telah beriman:
"Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang
kami berikan kepada mereka secara sembunyi
ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada hari itu
tidak ada jual beli dan persahabatan.”
Intinya, beribadah itu boleh diam-diam, boleh
juga terang-terangan (ngasih tau ke orang lain). Yang tidak boleh itu diam-diam
tidak ibadah. :p
Beribadah terang-terangan memang berpotensi
riya, tapi beribadah diam-diam juga berpotensi ujub. Yang penting kembali kita luruskan
NIAT.
Sebagai penutup di tulisan ini, yuk kedepankan
khusnudzon. Jangan mudah su’udzon.
“ Ketika kita menilai orang lain, sesungguhnya
saat itu juga kita sedang dinilai. Minimal dinilai oleh diri kita sendiri.”
Kita hanya manusia biasa yang tak bisa membaca
isi hati. Kalaupun bisa, kebanyakan penilaian kita itu salah. Seperti lirik
lagunya Padi yang berjudul ‘ Sang Penghibur ‘
“ Aku bukanlah seorang yang mengerti, tentang
kelihaian membaca hati.” (harusnya ini ada emot musiknya, hehehe)
Setiap diri kita bukanlah orang yang lihai,
tepat dan selalu benar dalam menilai hati seseorang. Kita manusia biasa yang
punya keterbatasan.
Sekian tulisan untuk renungan bersama ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya, terutama bagi saya sendiri sebagai penulisnya. Mohon maaf
jika ada kesalahan.
Pekanbaru, 2 Mei 2015
Salam,
Atrof Ardians
0 komentar:
Posting Komentar
Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.