Berikut ini Contoh Makalah Studi Kasus Kriminologi dengan topik
”Kekerasan
Pada Anak Dalam Keluarga”
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Anak merupakan anggota masyarakat yang
tergolong lemah baik dari sego fisik maupun dalam pemenuhan hak mereka. Anak
sebenarnya secara penuh telah menyerahkan hidupnya kepada orang tua yang
diharapkan dapat menjadi tempat bernaung yang aman baginya.
Kebutuhan dasar yang penting bagi anak
adalah adanya hubungan sehat antara orang tua dan anak.kebutuhan anak seperti
perhatian dan kasih sayang terus menerus, perhatian, dorongan, dan pemeliharaan
harus dipenuhi oleh orang tua. Kebutuhan umum anak yaitu dalah perlindungan
(keamanan), kasih syang, perhatian, dan terlibat dalam pengalaman yang positif
yang dapat membutuhkan serta mengembangkan kehidupan mental yang sehat.
Menurut surat kabar harian Kompas, Kamis
23 Mei 2002, kekerasan domestik atau kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan
keluarga menduduki porsi terbesar dalam kasus kekerasan yang menimpa anak-anak
pada rentang usia 3-6 tahun. Sebanyak 80% kekerasan yang menimpa anak-anak
dilakukan oleh keluarga mereka, 10% terjadi di lingkungan pendidikan, dan
sisanya orang tak dikenal.
Kasus kekerasan yang sering dialami anak pada akhir-akhir ini semakin mengemuka. Tindakan kekerasan dilakukan baik oleh sesama anaka maupun oleh orang dewasa. Tempat kejadian bisa di lingkungan keluarga dan masyarakat. Berbagai akibat kekerasan yang dialami anak, baik anak sebagai korban maupun sebagai pelaku dari tindakan kekerasan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis anak. Gangguan psikologis meliputi trauma, luka batin, kegelisahan, perasaan curiga, depresi, frustasi, kecewa, penyesalan yang sangat mendalam, dendam, pemarah, perasaan tidak berdaya, kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat, dan kehilangan kepercayaan diri serta perliaku lain yang tidak wajar.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam konteks perlindungan HAM, sebagai
manusia, perempuan dan anak juga memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya
dimuka bumi ini, yakni hak yang dipahami sebagai hak-hak yang melekat (inherent)
secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan tanpa itu manusia (perempuan dan
anak) tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar.
Dr. Halim G Ginott memperingatkan orang
tua akan besarnya pengaruh ancaman yang dilontarkan kepada anak. Ia mengatakan
“Yang paling ditakuti anak-anak ialah tidak dicintai atau ditinggalkan oleh
orang tuanya. Jadi jangan sekali-kali mengancam akan meninggalkan anak, secara
bergurau maupun dengan marah”.
Sikap otoriter sering dipertahankan
oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat
dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja),
dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut Watson,
sikap otoriter, sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus
asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain,
lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada
diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga.
Semua tindakan kekerasan kepada
anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa
dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan -tindakan di atas dapat
dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak.
Terry E. Lawson, psikiater anak membagi child abuse menjadi 4 (empat) macam,
yaitu emotional abuse, Verbal abuse, Physical abuse, Sexual abus.
Maraknya kasus kekerasan terhadap anak
akhir-akhir ini dan lemahnya perlindungan terhadap anak terkesan menjustifikasi
kasus tersebut, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Apabila kondisi
ini terus berlanjut akan menghambat perkembangan sosial dan psikologis anak.
Kekerasan terhadap anak perlu dicegah, karena sangan bertentangan dengan hak
asasi anak. Dalam upaya melindungi anak dari tindak kekerasan, pemerintah
Indonesia pada tahun 1990 telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, kemudia disusun
dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan kewajiban bagi semua pihak termasuk negara untuk
melindunginya.
Anak merupakan generasi penerus yang
diharapkan dapat menggantikan generasi terdahulu dalam mencapai cita-cita
perjuangan bangsa. Oleh karena itu, anak perlu diberikan pendidikan, pembinaan,
dan perlindungan agar menjadi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
mampu memelihara kesatuan dan persatuan bangsa. Selanjutnya, anak juga perlu
diberikan bimbingan dan perlindungan agar pertumbuhan dan perkembangan fisik,
psikis, dan sosialnya dapat terjaga dari kemungkinan yang akan membahayakan.
Anak secara mental masih dalam tahap pencarian jati diri, sehingga kadang mudah
terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang berakibat pada tindakan melanggar
hukum yang merugikan diri sendiri, keluarga, dan masyarkat.
Kekerasan
merupakan sebuah terminologi yang sarat dengan arti dan makna “derita”, baik dikaji
dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa di dalamnya terkandung perilaku
manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan penderitaan bagi
orang lain, (pribadi/ kelompok).
Perempuan dan anak sebagai korban tindak
kekerasan bukan merupakan fenomena baru, kitab sejarah mengungkapkan
praktek-praktek masa lalu yang mengorbankan perempuan, baik dewasa (pengorban
depan altar) maupun korban anak-anak (pembunuhan bayi berjenis kelamin
perempuan).
Cerita
tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang sedikit
sekali ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada, karena itu jarang
terungkap bahwa viktimisasi terhadap perempuan melalui tindak kekerasan
diajukan ke peradilan pidana. Masalahnya mungkin pada persepsi masyarakat, baik
secara keseluruhan maupun kaum perempuan itu sendiri, bahwa kekerasan yang
dialaminya adalah lebih baik untuk disembunyikan saja. Ini tentu ada kaitannya
dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarrakat mengenai kedudukan
perempuan selama ini dalam masyarakat.
Terdapat 2 golongan besar, yaitu:
1.
Dalam keluarga
Penganiayaan fisik,
non Accidental “injury” mulai dari ringan “bruiser laserasi” sampai pada trauma
neurologik yang berat dan kematian. Cedera fisik akibat hukuman badan di luar
batas, kekejaman atau pemberian racun.
Penelantantaran anak
atau kelalaian, yaitu: kegiatan atau behavior yang langsung dapat menyebabkan
efek merusak pada kondisi fisik anak dan perkembangan psikologisnya. Kelalaian
dapat berupa:
a.
Pemeliharaan yang kurang
memadai. Menyebabkan gagal tumbuh, anak merasa kehilangan kasih sayang,
gangguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan
b.
Pengawasan yang kurang memadai.
Menyebabkan anak gagal mengalami resiko untuk terjadinya trauma fisik dan jiwa.
c.
Kelalaian dalam mendapatkan
pengobatan
d.
Kegagalan dalam merawat anak
dengan baik
e.
Kelalaian dalam pendidikan
Meliputi kegagalan
dalam mendidik anak agar mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal
menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak
terpaksa putus sekolah.
2.
Penganiayaan emosional
Ditandai dengan
kecaman atau kata-kata yang merendahkan anak, tidak mengakui sebagai anak.
Penganiayaan seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.
Penganiayaan seksual
mempergunakan pendekatan persuasif. Paksaan pada seseorang anak untuk mengajak
berperilaku atau mengadakan kegiatan seksual yang nyata, sehingga menggambarkan
kegiatan seperti: aktivitas seksual (oral genital, genital, anal, atau sodomi).
Faktor Resiko dari
Kekerasan Terhadap Anak
Menurut Helfer dan Kempe dalam
Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse4 , yaitu
1. Orang tua memiliki potensi untuk
melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki
kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua
tidak memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak
sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang
lain, bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari
rumah lain, sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support
kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak
terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat
terjadi pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak
yang cacat, hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai,
misalnya anak mantan suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir
rendah(BBLR). Pada anak BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk
beberapa lama, padahal pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu
berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering
terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit,
adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang lebih besar
bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress
dapat terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag
tinggi maupun rendah, maka child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.
Berdasarkan data yang didapat dari
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research &
Development Universitas Gadjah Mada, mengenai berita tentang child abuse yang
terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta,
Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3969 kasus,
dengan rincian sexual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%,
dan child neglect 8.3%.
Berdasarkan kategori usia korban:
1.
Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan
terendah usia 0-5 tahun (7,7%).
2.
Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan
terendah usia 13-15 tahun (16.2%).
3.
Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%)
dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%).
Contoh Nyata Perlakuan
Kekerasan Pada Anak
Kasus: Yani (30 th) sering
menghukum‘kenakalan; anaknya yang bersusia 5 tahun. Bentuk kenakalan itu antara
lain, menuang sabun di kamar mandi, tak mau makan, mengotori jemuran dan
menganggu adik. “Kalau nakalnya di kamar mandi, ya saya pukul pakai gayung.
Kalau tak mau makan, saya pukul pakai sendok atau piring. Kalau menggangu
adiknya, saya pukul pakai maiannya.” Menurut Yani, anak harus dihukum supaya
jera dan tidak mengulangi perbuatan yang dilarang. Yani tak ingin disalhkan
suami karena tak mampu mendidik anak.
Dampak fisik: Memar, luka, patah tulang terutama di daerah rusuk dan
gangguan-gangguan di bagian tubuh lain seperti kepala, perut, pinggul, kelak di
usia selanjutnya.
Dampak emosi:
a. Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas.
b. Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk memberi disiplin.
Di usia dewasa, anak akan menggunakan pendekatana kekerasan untuk
mendisiplinkan anak.
Orang
tua diharapkan:
a. Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola emosi, menggali
masalah suami siteri yang tidak selesai dan mempelajarai perkembangan anak.
b. Ajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik.
c. Pahami perkembangan anak. Di usia 5 hingag 8 tahun, anak sedang
berada pad atahap ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin berekreasi. Tidak
semua tindakan anak merupakan kenakalan, mereka tidak tahu bahwa tingkah
lakunya salah atau kurang tepat.
Bantuan Untuk Anak:
a. Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahui gangguan emosi
yang dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai.
b. Tumbuhkan kembali rasa percaya diri anak. Terimalah apa yang mereka
lakukan dengan tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya dilakukan.
c. Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak bahwa ia sangat
dicintai.Kontributor Artikel Mahasiswa Psikologi UIN Suska Riau:
Deci Wahyu
Indah Sundari
Tri Wulandari
Widyanti
0 komentar:
Posting Komentar
Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.