A.
Tanda dan Gejala TIC
Gejala diawali saat kanak-kanak dan remaja,
seperti gerakan kedipan mata, menggerakan kepala tanpa sebab atau
menghentak-hentakkan kaki. Beberapa contoh untuk gangguan vokal misalnya
berdehem, mendecakkan lidah, menjerit atau merintih. Orang cenderung mengira,
penderita tic-tourette cenderung meneriakkan kata-kata kurang sopan setiap
saat. Padahal itu hanya sedikit gejala saja yang dialami oleh sebagian
penderita, disebut dengan “coprolalia”. Kasus yang lebih sering adalah
penderita cenderung mengucapkan kata-kata yang sama setiap saat, dinamakan
“echolalia”.
Ciri khas terpenting yang membedakan tic dari
gangguan motorik lainnya ialah gerakan yang mendadak, cepat, sekejab dan
terbatasnya gerakan, tanpa bukti
gangguan neurologis yang mendasari; sifatnya yang berulang-ulang
(biasanya) terhenti saat tidur; dan
mudahnya gejala itu ditimbulkan kembali atau ditekan dengan kemauan. Kurang
beriramanya “tic” itu yang membedakannya dari gerakan yang sterotipik berulang yang tampak pada
beberapa kasus autism dan retardasi mental. Akivitas motorik manneristik yang
tampak pada gangguan ini cenderung mencakup gerakan yang lebih rumit dan lebih
bervariasi daripada gejala “tic”. Gerakan obsesif kompulsiif sering memnyerupa
“tic” yang kompleks namun berbeda karena bentuknya cenderung ditentukan oleh
tujuannya (misalnya menyentuh atau memutar benda secara berulang) dari pada
oleh kelompok otot yang terlibat; walaupun demikian acapkali sulit juga untuk
membedakannya.
B.
Etiologi
Tics diyakini hasil dari
disfungsi tripartit dalam sistem saraf pusat. teknik Imaging telah menggejala
ganglia basal dan korteks frontal dalam patogenesis sindrom Tourette's. Kedua sumber
abnormalitas diperkirakan tidak pantas menjadi peraturan neurotransmiter,
terutama dopamin bukti kuat menunjukkan kelebihan dopamin atau supersensitivity
dari dopamin postsynaptic reseptor adalah mekanisme yang mendasari
pathophysiologic's sindrom Tourette.
C.
Epidemiologi / Prevalensi
Sebuah komunitas, yang berbasis penelitian
besar menunjukkan bahwa lebih dari 19% dari anak-anak usia sekolah memiliki
gangguan tic. Anak-anak dengan gangguan tic dalam penelitian yang biasanya
terdiagnosis. Sebanyak 1 dalam 100 orang mungkin mengalami beberapa bentuk
gangguan tic, biasanya sebelum masa pubertas. Tourette sindrom adalah ekspresi
lebih parah dari spektrum gangguan tic, yang dianggap disebabkan oleh
kerentanan genetik yang sama. Perilaku tic umum di kalangan anak-anak usia
sekolah. Anak laki-laki dua kali lebih mungkin akan terpengaruh oleh gangguan
tic berbanding perempuan.
D. Hasil Laboratorium dan
Imaging
Neuropathological dan studi neurokimia
berimplikasi kelainan pada ganglia basal dan sirkuit CSTC dalam patogenesis TS.
Pada MRI volumetrik, individu dengan TS memiliki volume berekor lebih kecil
dari kontrol normal. Berkurangnya volume berekor pada anak-anak dengan TS telah
dikaitkan dengan keparahan tic dan OCD meningkat di masa dewasa. Neuroimaging
fungsional telah mengungkapkan peningkatan aktivasi korteks frontal dan berekor
selama supresi tics yang disengajakan. Peningkatan aktivasi pada cortex frontal
dan nucleus caudate berkorelasi dengan aktivitas penurunan putamen, globus,
pallidus, dan talamus. Positron studi tomografi emisi di TS telah menunjukkan
peningkatan reseptor dopamin striatal dan kepadatan transporter dan pelepasan
dopamin meningkat akibat amfetamin di putamen tersebut.
E. Intervensi
Belum ditemukan pengobatan
yang dapat menyembuhkan penyakit ini, namun metode terapi dan relaksasi
ditemukan banyak membantu penderita mengurangi “ticks” mereka.
Psikoterapi
untuk Tic dan Sindrom Tourette
Sejak beberapa dekade yang lalu, haloperidol
sering digunakan sebagai obat untuk mengendalikan gejala pada penderita sindrom
Tourette, tetapi beberapa efek samping yang ditimbulkan telah menurunkan
frekuensi penggunaan obat tersebut. Farmakoterapi lainnya antara lain
penggunaan pimozide, clonazepam, dan clonidine (Brown
& Sammons, 2002, Robertson, 2000). Sebuah penelitian memprediksi bahwa 70%
penderita sindrom Tourette akan mengalami pengurangan gejala saat penderita
memasuki usia remaja akhir, dan 30%-40% penderita akan mengalami kesembuhan
total saat melewati usia dewasa akhir (Dhamayanti, dkk., 2004), namun gejala
dapat muncul kembali ataupun menjadi semakin parah akibat stressor-stresor
psikologis. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa mayoritas penderita sindrom
Tourette dapat hidup tanpa terapi obat (Dhamayanti, dkk., 2004). Asumsi-asumsi
tersebut dapat menjadi dasar bagi penggunaan psikoterapi sebagai salah satu
penunjang bagi penderita sindrom Tourette untuk dapat mengoptimalkan potensinya
dan hidup dengan cara-cara yang adaptif.
Tujuan utama dari psikoterapi untuk penderita
sindrom Tourette adalah agar ia mampu mengembangkan strategi koping yang
positif. Beberapa pendekatan terapi yang memungkinkan untuk diterapkan pada
penderita sindrom Tourette antara lain adalah sebagai berikut:
Pendekatan
Kognitif Behavioral – Habit Reversal (Wilhelm, dkk., 2003, Piacentini, 2004)
Komponen-komponen
utama dari pendekatan ini adalah:
§
Latihan kesadaran (awareness training)
§
Pemantauan diri (self-monitoring),
misalnya menghitung sebelum terjadinya gejala
§
Latihan relaksasi, misalnya relaksasi otot,
pernapasan, imajinasi, dsb. setiap hari selama 10-15 menit, dan dipraktekkan
selama 1-2 menit setiap muncul kecemasan atau setelah muncul tics
§
Prosedur ‘melawan’ respon
Memikirkan
respon tertentu yang inkompatibel dengan tic, berlawanan dengan gerakan,
dapat dipertahankan selama beberapa menit, memunculkan tekanan otot yang sama
dengan yang terjadi saat gerakan tic muncul, tidak terlalu mencolok,
serta menguatkan otot yang antagonis dengan tic.
§
Manajemen kontingensi
- Terapis menginstruksikan keluarga klien untuk memberikan komentar berupa penghargaan jika klien menunjukkan kemajuan dan terus mengingatkan jika klien lupa untuk berlatih
- Klien diikutsertakan dalam aktivitas-aktivitas menyenangkan yang sudah mulai jarang dilakukan
§
Reviu ketidaknyamanan, berisi reviu
ketidaknyamanan, rasa malu, serta kesulitan-kesulitan klien yang diakibatkan
oleh munculnya gejala
Psikoterapi
Suportif (Wilhelm, dkk., 2003)
Terapi ini lebih mengarah pada pendekatan
humanistik (khususnya Gestalt) di mana terapis diharapkan untuk tidak bersikap
direktif, dan penderita sindrom Tourette memfokuskan diri pada
pengalaman-pengalamannya, merefleksikan serta mengekspresikan perasaan-perasaannya
terkait dengan cara hidup dan cara menyelesaikan masalah.
Hipnoterapi
(Kohen & Botts, 1987)
Penderita sindrom Tourette dilatihkan bagaimana
menghipnosis diri sendiri dalam rangka mengendalikan kebiasaan, gejala fisik,
dan kondisi-kondisi lainnya. Hipnoterapi juga menggunakan teknik-teknik
relaksasi dan imajinasi, sebagaimana yang sering dilakukan pada meditasi.
Dalam keadaan terhipnosis, terapis memberi
sugesti yang mengarah pada perubahan perilaku, penurunan kecemasan, dan
intensitas gejala.
Teknik-teknik
berbasis Psikoanalisis (Bruun, dkk., 1994)
Ketidakmampuan dalam mengendalikan tubuh dan
pikiran sendiri seringkali menjadi sumber kecemasan, ketakutan, rasa bersalah,
rasa tidak berdaya, kemarahan, dan depresi. Sebagian penderita menghadapinya
dengan menarik diri, dan sebagian lagi dengan agresivitas. Reaksi sosial yang
negatif pun seringkali tak terhindarkan. Harga diri dan kepercayaan diri
menjadai permasalahan yang umum pada penderita sindrom Tourette, sebagaimana
yang sering dialami oleh pasien dengan penyakit-penyakit kronis. Terapi
psikoanalisis lebih memfokuskan pada permasalahan-permasalahan seputar
penerimaan diri.
Terapi
keluarga (Bruun, dkk., 1994)
Sebagai gangguan yang kronis, sindrom Tourette
juga berdampak pada keluarga penderita. Orang tua seringkali harus menghadapi
saat-saat sulit ketika anak menunjukkan gejala. Permasalahan yang muncul dalam
keluarga dapat berupa:
- Rasa bersalah orang tua atas kelainan genetik
- Sulitnya bagi anggota keluarga untuk mengetahui gejala-gejala yang mana yang dapat dan yang tidak dapat dikendalikan
- ‘Ketidakadilan’ yang dipersepsi oleh saudara baik itu adik maupun kakak dari penderita
- Relasi yang memburuk antara suami istri
Terapi
keluarga hendaknya difokuskan pada peran penderita sindrom Tourette dalam
keluarga, dimana ia sering menerima perlakuan-perlakuan sebagai berikut:
- Overproteksi dari orang tua/anggota keluarga
- Dihukum
- Tidak dipahami perasaan/pikirannya
- Dianggap sebagai sumber aib
Terapis berfungsi sebagai fasilitator bagi
keluarga agar dapat belajar menerima anggota keluarga dengan sindrom Tourette,
sehingga ia dapat merasa aman dan mampu menghadapi lingkungannya dengan lebih
adaptif.
Sebagai langkah awal terapi, keluarga perlu
diberi informasi dan dipahamkan tentang berbagai aspek dari gangguan sindrom
Tourette. Tujuan akhir dari terapi adalah keluarga mampu membangun sebuah
lingkungan yang mendukung bagi penderita sindrom Tourette, dan dapat berlaku
fleksibel dalam memfasilitasi sehingga tidak terlalu overprotektif.
Intervensi
akademik dan okupasional (Bruun, dkk., 1994)
Anak dengan sindrom Tourette biasanya mengalami
kesulitan dalam hal konsentrasi, perhatian, dan belajar sehingga membutuhkan
intervensi pendidikan khusus, misalnya pengajar khusus, kelas khusus,
labboratorium khusus, dsb., yang disesuaikan dengan tingkat keparahan gejala.
Sekolah perlu diinformasikan mengenai sindrom Tourette, karena seringkali
sekolah tidak memahami gangguan tersebut sehingga penderita dicap sebagai anak
nakal, mengganggu, dan bodoh. Umumnya penderita sindrom Tourette tidak mampu
menjalankan fungsi mental dan sosial sesuai dengan usia kronologisnya, atau
mengalami perlambatan dalam perkembangannya (Barkley, 1991).
Orang dewasa dengan sindrom Tourette seringkali
membutuhkan modifikasi khusus pada lingkungan kerjanya. Perlu untuk membangun
pemahaman pada lingkungan kerja tentang gangguan yang diderita. Fleksibilitas,
kepedulian, serta produktifitas dalam pekerjaan dapat ditingkatkan dengan
intervensi yang tepat bagi penderita yang sangat simtomatik sekalipun.
0 komentar:
Posting Komentar
Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.