Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering
sekali menimbulkan masalah tersendiri. Masalah utama pada anak dengan gangguan
pendengaran adalah masalah komunikasi. Ketidakmampuannya untuk berkomunikasi
berdampak luas, baik pada segi keterampilan bahasa, membaca, menulis maupun
penyesuaian social serta prestasi sekolahnya.
Agar seorang anak tunaraungu dapat berkembang secara
maksimal, maka harus dipahami kebutuhan-kebutuhannya agar dapat diberikan
bantuan yang sesuai. Hasil penelitian Yoshinaga-Itano dan Sedey (1998 dalam
Luchner & Sebald dalam jurnal Teaching Exceptional Children Vol. 39 No.3,
2007) mengungkapkan bahwa identifikasi dini dan intervensi terhadap anak-anak
tunarungu atau pendengaran kurang merupakan komponen kritikal dari kesuksesan
dalam perkembangan bahasa dan melek huruf. Jalur pendidikan formal (sekolah)
merupakan satu upaya yang banyak dilakukan untuk membantu anak-anak tunarungu.
Namun agar pendidikan itu berhasil, maka kerjasama dengan orang tua, penanganan
yang terintegrasi dan pelayanan yang professional sangat dibutuhkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Batasan
Anak tunarungu adalah mereka yang pendengerannya
tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Bagi anak
yang kurang pendengaran atau tipe gangguan pendengaran yang lebih ringan, dapat
diatasi dengan alat bantu dengar. Anak-anak ini bukan merupakan sasaran utama
pendidikan anak tunarungu, karena anak-anak tersebut masih bisa dibantu secara
medis dan psikologik agar dapat mengikuti pendidikan biasa di sekolah normal.
Menurut Moores (dalam Hallahan dan Kauffman, 2006),
defenisi dari ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu
mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat
frekuensi dan intensitas. Hallahan dan Kauffman (2006) membedakan antara
ketulian dengan gangguan pendengaran. Orang yang tuli adalah mereka yang
ketidakmampuan mendengarnya menghambat keberhasilan memroses informasi bahasa
melalui pendengaran, dengan maupun tanpa alat bantu dengar. Sementara itu,
orang yang secara umum sulit untuk mendengar, dengan bantuan alat bantu dengar,
masih memiliki kemampuan mendengar yang cukup untuk memroses informasi bahasa
melalui pendengaran.
Sementara itu menrutu PL 14-142, kesulitan
pendengaran adalah gangguan pendengaran baik yang permanen maupun berfluktuasi,
dimana mempengaruhi prestasi akademik anak, tetapi defenisi ini tidak tergolong
pada klasifikasi tuli (US Office of Education, 1977, p.42-48).
Batasan lain ada berdasarkan
saat mulainya terjadi ketulian. Prelingual deafness merupakan kondisi seseorang
dimana ketulian sudah ada sejak lahir atau terjadi sebelum dimulainya
perkembangan bicara dan bahasa. Postilingual deafness merupakan kondisi dimana
seseorang mengalami ketulian setelah ia menguasai wicara atau bahasa.Batasan yang bersifat
kuantitatif secara khusus menunjuka pada gangguan pendengaran sesuai dengan
hilangnya pendengaran, yang dapat diukur dengan alat audiometri. Audiometri
merupakan alat yang dapat mengukur seberapa jauh seseorang bisa mendengar atau
seberapa besar hilangnya pendengaran dan ditunjukkan dalam satuan decibel (dB).
Defenisi dan kategorisasi dari ketulian tampak sebagai berikut:
1. Kelompok I: hilangnya pendengaran yang ringan (20-30
dB). Orang-orang dengan kehilangan pendengaran sebesar ini mampu berkomunikasi
dengan menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan ambang batas
(bordeline) antara orang yang sulit
mendengar dengan orang normal.
2. Kelompok II: hilangnya pendengaran yang marginal
(30-40 dB). Orang-orang dengan gangguan ini sering mengalami kesulitan untuk
mengikuti suatu pembicaraan pada jarak beberapa meter. Pada kelompok ini,
orang-orang masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar, namun harus
dilatih.
3. Kelompok III: hilangnya pendengaran yang sedang
(40-60 dB). Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, orang-orang ini
masih bisa belajar berbicara dengan mengandalkan alat-alat pendengaran.
4. Kelompok IV: hilangnya pendengaran yang berat (60-75
dB). Orang-orang ini tidak bisa belajar berbicara tanpa menggunakan
teknik-teknik khusus. Pada gangguan ini mereka sudah dianggap sebagai ‘tuli
secara edukatif’. Mereka berada pada ambang batas antara sulit mendengar dengan
tuli.
5. Kelompok V: hilangnya pendengaran yang parah (>75
dB). Orang-orang dalam kelompok ini tidak bisa belajar bahasa hanya semata-mata
dengan mengandalkan telinga, meskipun didukung dengan alat bantu dengar
sekalipun.
Jadi menurut defenisi di atas, kelompok 1, 2 dan 3 tergolong sulit
mendengar. Sedangakan kelompok 4 dan 5 tergolong tuli. Kesulitan dalam berbicara akan semakin bertambah sejalan
dengan semakin bertambahnya kesulitan pendengaran. Misalnya pada hilangnya
pendengaran yang parah, seseorang harus lebih mengandalkan mata daripada
telinganya. Jadi sekalipun dipaksakan untuk berkomunikasi secara oral,
keterbatasan itu akan tetap memaksa anak untuk mengandalkan bagian lain dari
tubuhnya, seperti gerakan tubuh, wajah, isyarat tangan dan sebagainya; selain
juga menggunakan telinga, mulut dan lidahnya untuk berbicara.
B. Karakteristik
Ketunarunguan
Menurut Telford dan Sawrey (1981) ketunarunguan
tampak dari simtom-simtom seperti:
1. Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya
kronis
2. Kegagalan berespon apabila diajak berbicara
3. Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan
artikulasi
4. Mengalami keterbelakangan di sekolah
Dalam kehidupan sehari-hari, dikelas misalnya,
sangat penting memperhatikan gejala-gejala beriktu sebagai indicator adanya
gangguan pendnegaran yaitu:
1. Reaksi lambat terhadap instruksi atau berulang kali
menanyakan apa yang harus ia lakukan padahal baru saja diberitahu
2. Melihat siswa lain untuk mengikuti apa yang mereka
lakukan
3. Secara konstan meminta orang lain untuk mengulangi
apa yang mereka baru saja katakana
4. Kadang-kadang mampu mendengar, kadang-kadang tidak,
terutama setelah mengalami flu, sakit, atau ketika berada diposisi tertentu
5. Sering salah menginterpretasi informasi, pertanyaan,
dan pembicaraan orang, atau hanya berespon pada hal yang dikatakan paling
akhir.
6. Tidak mampu mengindetifikasi sumber suara atau
pembicara, terutama dalam kondisi ramai.
7. Memliki kecenderungan melamun atau menunjukkan
konsentrasi dan perhatian yang payah, terutama selama diskusi kelompok atau
ketika cerita dibacakan dengan suara keras.
8. Membuat komentar atau jawaban yang tidak sesuai,
tidak mengikuti topic pembicaraan.
9. Perkembangan bahasa terlambat; bahasa tidak
gramatikal untuk usianya.
10. Sulit mengulangi kata-kata, suara, lagu, irama, atau
untuk mengingat nama orang dan tempat.
C. Etiologi
Ketunarunguan atau hilangnya pendengaran merupakan
kondisi kesehatan yang umum, terjadi pada kurang lebih tiga dari 100 bayi (make
a joyful, n.d). faktor penyebab ketunarunguan sangat bervariasi, namun dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Masalah kromosom yang diturunkan
2. Malformasi congenital
3. Infeksi kronis
4. Tulang tengkorak yang retak
5. Dampak mendengar suara yang sangat keras
6. Penyakit virus seperti rubella pada saat kehamilan
ibu
7. Sifilis kongentinal
Sedangkan cartwirght dan catwright (1984) membagi
penyebab ketunarunguan menjadi dua bagian besar yaitu penyebab kehilangan yang
bersifat peripheral dan disfungsi syaraf pendengaran pusat.
1. Penyebab kehilangan yang periferela adalah yang
bersifat:
a. Konduktif, (tambah lagi materinya)
b. Sensorineural, (tambah lagi materinya)
2. Penyebab ketulian karena disfungsi pendengaran
sentral seringkali diatribusikan pada kerusakan atau malfungsi system syaraf
pusat antara otak bawah dengan selaput otak. (tambah lagi materinya)
D. Identifikasi
Identifikasi ketunarunguan merupakan masalah yang
penting sekali untuk tindakan bantuan, agar anak tunarungu dapat berfungsi
senormal mungkin. Pada tahun pertama kehidupannya, memang anak tunarungu akan
mengeluarkan bunyi-bunyian yang sama dengan anak normal. Namun pada anak
normal, sesuai dengan penelitian perkembangan dari Gesell, anak akan mulai
menggunakan kata-kata pertamanya pada usia 12-18 bulan. Sedangkan pada usia ini
anak tunarungu menampakkan ketidakmampuannya untuk membunyikan kata-kata
pertama yang terarah. Apabila pada usianya yang kedua, anak belum juga
menampakkan kemampuan berbicara, maka ada kemungkinan anak tersebut tidak dapat
mendengar. Tentu saja, diagnosa ini harus diperkuat dengan cara-cara lain,
mengingat ada kemungkinan ketidakmampuan berbicara anak disebabkan pula oleh
kurangnya stimulasi lingkungan, konflik emosional atau autism, bahkan juga
keterbelakangan mental dan keterlambatan perkembangan (suran dan Rizzo, 1979).
Artikel sebelumnya yaitu tentang Makalah Tuna Daksa
Artikel sebelumnya yaitu tentang Makalah Tuna Daksa
0 komentar:
Posting Komentar
Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.