Rabu, 26 Maret 2014

Makalah Tuna Rungu

Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering sekali menimbulkan masalah tersendiri. Masalah utama pada anak dengan gangguan pendengaran adalah masalah komunikasi. Ketidakmampuannya untuk berkomunikasi berdampak luas, baik pada segi keterampilan bahasa, membaca, menulis maupun penyesuaian social serta prestasi sekolahnya.
Agar seorang anak tunaraungu dapat berkembang secara maksimal, maka harus dipahami kebutuhan-kebutuhannya agar dapat diberikan bantuan yang sesuai. Hasil penelitian Yoshinaga-Itano dan Sedey (1998 dalam Luchner & Sebald dalam jurnal Teaching Exceptional Children Vol. 39 No.3, 2007) mengungkapkan bahwa identifikasi dini dan intervensi terhadap anak-anak tunarungu atau pendengaran kurang merupakan komponen kritikal dari kesuksesan dalam perkembangan bahasa dan melek huruf. Jalur pendidikan formal (sekolah) merupakan satu upaya yang banyak dilakukan untuk membantu anak-anak tunarungu. Namun agar pendidikan itu berhasil, maka kerjasama dengan orang tua, penanganan yang terintegrasi dan pelayanan yang professional sangat dibutuhkan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Batasan
Anak tunarungu adalah mereka yang pendengerannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Bagi anak yang kurang pendengaran atau tipe gangguan pendengaran yang lebih ringan, dapat diatasi dengan alat bantu dengar. Anak-anak ini bukan merupakan sasaran utama pendidikan anak tunarungu, karena anak-anak tersebut masih bisa dibantu secara medis dan psikologik agar dapat mengikuti pendidikan biasa di sekolah normal.
Menurut Moores (dalam Hallahan dan Kauffman, 2006), defenisi dari ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian lain, baik dalam derajat frekuensi dan intensitas. Hallahan dan Kauffman (2006) membedakan antara ketulian dengan gangguan pendengaran. Orang yang tuli adalah mereka yang ketidakmampuan mendengarnya menghambat keberhasilan memroses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan maupun tanpa alat bantu dengar. Sementara itu, orang yang secara umum sulit untuk mendengar, dengan bantuan alat bantu dengar, masih memiliki kemampuan mendengar yang cukup untuk memroses informasi bahasa melalui pendengaran.
Sementara itu menrutu PL 14-142, kesulitan pendengaran adalah gangguan pendengaran baik yang permanen maupun berfluktuasi, dimana mempengaruhi prestasi akademik anak, tetapi defenisi ini tidak tergolong pada klasifikasi tuli (US Office of Education, 1977, p.42-48).
Batasan lain ada berdasarkan saat mulainya terjadi ketulian. Prelingual deafness merupakan kondisi seseorang dimana ketulian sudah ada sejak lahir atau terjadi sebelum dimulainya perkembangan bicara dan bahasa. Postilingual deafness merupakan kondisi dimana seseorang mengalami ketulian setelah ia menguasai wicara atau bahasa.Batasan yang bersifat kuantitatif secara khusus menunjuka pada gangguan pendengaran sesuai dengan hilangnya pendengaran, yang dapat diukur dengan alat audiometri. Audiometri merupakan alat yang dapat mengukur seberapa jauh seseorang bisa mendengar atau seberapa besar hilangnya pendengaran dan ditunjukkan dalam satuan decibel (dB). Defenisi dan kategorisasi dari ketulian tampak sebagai berikut:
1.    Kelompok I: hilangnya pendengaran yang ringan (20-30 dB). Orang-orang dengan kehilangan pendengaran sebesar ini mampu berkomunikasi dengan menggunakan pendengarannya. Gangguan ini merupakan ambang batas (bordeline) antara orang yang sulit  mendengar dengan orang normal.
2.    Kelompok II: hilangnya pendengaran yang marginal (30-40 dB). Orang-orang dengan gangguan ini sering mengalami kesulitan untuk mengikuti suatu pembicaraan pada jarak beberapa meter. Pada kelompok ini, orang-orang masih bisa menggunakan telinganya untuk mendengar, namun harus dilatih.
3.    Kelompok III: hilangnya pendengaran yang sedang (40-60 dB). Dengan bantuan alat bantu dengar dan bantuan mata, orang-orang ini masih bisa belajar berbicara dengan mengandalkan alat-alat pendengaran.
4.    Kelompok IV: hilangnya pendengaran yang berat (60-75 dB). Orang-orang ini tidak bisa belajar berbicara tanpa menggunakan teknik-teknik khusus. Pada gangguan ini mereka sudah dianggap sebagai ‘tuli secara edukatif’. Mereka berada pada ambang batas antara sulit mendengar dengan tuli.
5.    Kelompok V: hilangnya pendengaran yang parah (>75 dB). Orang-orang dalam kelompok ini tidak bisa belajar bahasa hanya semata-mata dengan mengandalkan telinga, meskipun didukung dengan alat bantu dengar sekalipun.
Jadi menurut defenisi di atas, kelompok 1, 2 dan 3 tergolong sulit mendengar. Sedangakan kelompok 4 dan 5 tergolong tuli. Kesulitan dalam  berbicara akan semakin bertambah sejalan dengan semakin bertambahnya kesulitan pendengaran. Misalnya pada hilangnya pendengaran yang parah, seseorang harus lebih mengandalkan mata daripada telinganya. Jadi sekalipun dipaksakan untuk berkomunikasi secara oral, keterbatasan itu akan tetap memaksa anak untuk mengandalkan bagian lain dari tubuhnya, seperti gerakan tubuh, wajah, isyarat tangan dan sebagainya; selain juga menggunakan telinga, mulut dan lidahnya untuk berbicara.

B.  Karakteristik Ketunarunguan
Menurut Telford dan Sawrey (1981) ketunarunguan tampak dari simtom-simtom seperti:
1.    Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis
2.    Kegagalan berespon apabila diajak berbicara
3.    Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi
4.    Mengalami keterbelakangan di sekolah
Dalam kehidupan sehari-hari, dikelas misalnya, sangat penting memperhatikan gejala-gejala beriktu sebagai indicator adanya gangguan pendnegaran yaitu:
1.    Reaksi lambat terhadap instruksi atau berulang kali menanyakan apa yang harus ia lakukan padahal baru saja diberitahu
2.    Melihat siswa lain untuk mengikuti apa yang mereka lakukan
3.    Secara konstan meminta orang lain untuk mengulangi apa yang mereka baru saja katakana
4.    Kadang-kadang mampu mendengar, kadang-kadang tidak, terutama setelah mengalami flu, sakit, atau ketika berada diposisi tertentu
5.    Sering salah menginterpretasi informasi, pertanyaan, dan pembicaraan orang, atau hanya berespon pada hal yang dikatakan paling akhir.
6.    Tidak mampu mengindetifikasi sumber suara atau pembicara, terutama dalam kondisi ramai.
7.    Memliki kecenderungan melamun atau menunjukkan konsentrasi dan perhatian yang payah, terutama selama diskusi kelompok atau ketika cerita dibacakan dengan suara keras.
8.    Membuat komentar atau jawaban yang tidak sesuai, tidak mengikuti topic pembicaraan.
9.    Perkembangan bahasa terlambat; bahasa tidak gramatikal untuk usianya.
10. Sulit mengulangi kata-kata, suara, lagu, irama, atau untuk mengingat nama orang dan tempat.

C.  Etiologi
Ketunarunguan atau hilangnya pendengaran merupakan kondisi kesehatan yang umum, terjadi pada kurang lebih tiga dari 100 bayi (make a joyful, n.d). faktor penyebab ketunarunguan sangat bervariasi, namun dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.    Masalah kromosom yang diturunkan
2.    Malformasi congenital
3.    Infeksi kronis
4.    Tulang tengkorak yang retak
5.    Dampak mendengar suara yang sangat keras
6.    Penyakit virus seperti rubella pada saat kehamilan ibu
7.    Sifilis kongentinal
Sedangkan cartwirght dan catwright (1984) membagi penyebab ketunarunguan menjadi dua bagian besar yaitu penyebab kehilangan yang bersifat peripheral dan disfungsi syaraf pendengaran pusat.
1.    Penyebab kehilangan yang periferela adalah yang bersifat:
a.    Konduktif, (tambah lagi materinya)
b.    Sensorineural, (tambah lagi materinya)
2.    Penyebab ketulian karena disfungsi pendengaran sentral seringkali diatribusikan pada kerusakan atau malfungsi system syaraf pusat antara otak bawah dengan selaput otak. (tambah lagi materinya)

D.  Identifikasi
Identifikasi ketunarunguan merupakan masalah yang penting sekali untuk tindakan bantuan, agar anak tunarungu dapat berfungsi senormal mungkin. Pada tahun pertama kehidupannya, memang anak tunarungu akan mengeluarkan bunyi-bunyian yang sama dengan anak normal. Namun pada anak normal, sesuai dengan penelitian perkembangan dari Gesell, anak akan mulai menggunakan kata-kata pertamanya pada usia 12-18 bulan. Sedangkan pada usia ini anak tunarungu menampakkan ketidakmampuannya untuk membunyikan kata-kata pertama yang terarah. Apabila pada usianya yang kedua, anak belum juga menampakkan kemampuan berbicara, maka ada kemungkinan anak tersebut tidak dapat mendengar. Tentu saja, diagnosa ini harus diperkuat dengan cara-cara lain, mengingat ada kemungkinan ketidakmampuan berbicara anak disebabkan pula oleh kurangnya stimulasi lingkungan, konflik emosional atau autism, bahkan juga keterbelakangan mental dan keterlambatan perkembangan (suran dan Rizzo, 1979).

Artikel sebelumnya yaitu tentang Makalah Tuna Daksa
Share on :


Related post:


0 komentar:

Posting Komentar

Ingin berkomentar tapi gak punya blog? pilih "Anonymous" di 'kolom Beri Komentar Sebagai'. Komentar anda akan segera muncul.